Makam Panglima Pangsuma di Kecamatan Meliau |
Menurut pengakuan dari masyarakat ini, mereka merupakan pendatang dari Majapahit, yang melakukan asimiliasi dengan penduduk setempat yaitu Masyarakat Suku Dayak, tersebar di Kecamatan Meliau dan kecamatan Tayan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Sebagian besar Masyarakat Dayak Desa bermata
pencarian berladang, masih banyak yang menggantungkan ekonomi nya dari komoditi
Karet, sebagai penyadap getah karet, namun sekarang sudah banyak Masyaraat
Dayak Desa yang memiliki Kebun Kelapa Sawit, sebagai Karyawan Perusahaan
Swasta, Pegawai Negeri, Aparatur Pemerintahan Daerah
Dari segi pendidikan, banyak anak-anak Masyarakat
ini menempuh pendidikan di kota kecamatan, kota kabupaten bahkan tidak sedikit
yang menempuh pendidikan Tinggi di pulau Jawa, hal ini yang membuat Masyarakat
Dayak Desa tidak kekurangan Sumber Daya Manusia yang professional.
Dalam urusan Adat, mereka sangat berpegang dengan
Hukum Adat dan Tradisi, hal ini yang mempengaruhi watak Khas dan kebudayaan
Dayak Desa, mereka sangat teguh memegang prinsip leluhur yang menjadi salah
satu warisan budaya. Hal ini yang penulis alami saat beberapa kali berkunjung
ke Desa Meranggau, Kecamatan Meliau, Kabupate Sanggau, Desa Meranggau juga
merupakan kampung kelahiran tokoh Masyarakat Kabupaten Sangau, yaitu Alm.
Panglima Langgang, masih sangat banyak pantangan (aturan) yang tidak boleh dilanggar, baik Masyarakat lokas
sendiri maupun para tamu atau pendatang, oleh karena itu lah Desa Meranggau di
juluki Tanah Bisa.
Desa Meranggau Foto Satelit Google Earth |
Dayak Desa tidak terlepas dengan jasa-jasa nya pada
masa lampau, mereka berjasa membebaskan Kota kerajaan Sanggau (sekarang Ibu
kota Kabupaten Sanggau) juga beberapa kota lainnya dari tangan penjajahan
Jepang, Pada masa lampau dikenal dengan sebutan Majang Desa.
Majang Desa
adalah Gabungan kelompok-kelompok Masyarakat Dayak yang berpusat di wilayah
Dayak Desa. Perang Dayak Desa adalah
sebuah perang kelanjutan dari Perang Majang Desa yang terjadi pada zaman
Belanda dan pertengahan zaman Jepang, yakni pada 1944-Juni 1945 yang dilatarbelakangi
perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa.
Pada masa Kolonial
Belanda, ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang
ini dipimpin oleh Pang Suma, dan dalam catatan penulis Belanda,
diketahui benteng Belanda
yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari
Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Selanjutnya, pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat,
dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang
pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan, Karena romusha yang
diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini.
Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk menebang pohon dan merakitkan kayu dan
dihilirkan entah kemana. Begitu juga di bidang pertambangan,
di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di daerah sekitarnya,
yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang bekerja disana,
terbanyak adalah Orang Dayak.
Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan Peristiwa Mandor, pada tanggal 23 April 1943 banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap. Adapun, Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang. Sultan Pontianak mati dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya
Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan Peristiwa Mandor, pada tanggal 23 April 1943 banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap. Adapun, Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang. Sultan Pontianak mati dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya
Pada tanggal 13 Mei
1945, anak perempuan Pang
Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), yang mau dikawini oleh seorang
mandor Jepang yang bernama Osaki dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea
Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir. Perkawinan
ini dilarang oleh ayahnya, Pang Linggan. Pada saat itu, mereka sedang kerja paksa,
mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung
kepala Pang Linggan. Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih
baik membunuh duluan. Rakyat yang tak tahan oleh diinjak-injak dan ditindas
Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma
dan Pang Linggan.
Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita
Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa
berawal dari Peristiwa Suak Garong.
Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo
Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak. Adapun
pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau
pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh untuk menjadi
mata-mata buruh-buruh
kasar.
Buruh-buruh kasar itu dilarang
pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang pekerja
pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan kelaparan.
Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia digelari Tuan
Pentong oleh warga sekitar. Yamamoto tahu, sehingga ia mendatangi kampung
itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Namun, yang ada di kampung itu
adalah Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia pukuli Pang Rontoi namun
beruntung Pang Rontoi membalasnya.
Sesudah kejadian ini, maka
dilaporkanlah kejadian-kejadian ini kepada Pang Dadan, tumenggung
kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil
bermufakat, akan menyerang Osaki. Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan
sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki
menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, namun Osaki
meninggal tanpa perlawanan. Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat notong.
Pihak Jepang kaget. Mereka mengira
bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi
persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan
perlengkapan modern.
Pertempuran pecah di perusahaan
kayu, suku-suku Dayak
dari Ketapang,
hingga Sekadau
berkumpul berkenaan panggilan dari mangkok merah.
Beredarnya mangkok merah ini sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat
datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang Ditambah dengan pembunuhan
Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang
Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh yang perlu ditumpas
Peristiwa 2 pembunuhan ini tersebar
ke Pontianak,
khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera
mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Di saat yang
bersamaan pula, barulah mereka bermufakat khawatir akan diserang Jepang.
Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira
senior, Letnan Takeo Nagatani Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan Mangkok Merah
sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Nitinan segera
diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan
meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri
Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai
Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat. Sementara itu, rakyat sudah
mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampai ekspedisi
ini di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma,
Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas
dibunuh oleh Pang Suma.
Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah
Pang Suma. Maka, dalam kesempatan yang terjepit ini, Pang Suma dan Djampi
menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Selanjutnya, pada 24 Juni
1945, Pang Suma atau
disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut
pada 30 Juni
1945. Waktu bersamaaan
dengan A. Timbang bersama dengan
sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.
Pada tanggal 17 Juli
1945, Pang Suma
memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, pada
saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain. Di Pemura dan
Temura, pecahlah pertempuran; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya,
sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar
Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang
parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.
Sementara itu, Panglima Kilat
berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap
Jepang. Setelah 3 orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta
pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17 Juli
1945-31 Agustus
1945, Meliau dikuasai
kembali oleh Jepang.
Meski sebetulnya Indonesia
sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan
belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan
Barat. Maka dalam usaha mengusir penjajah, M. Th. Djaman guru di
Nyandang, dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti,
Kembayan, dan Balai Sebut di antaranya YAM Linggi, melangsungkan
pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang
melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.
Adapun Angkatan Perang Majang (APMD)
Desa kembali diaktifkan, didirikan pada 13 Mei
1944 dan dipimpin oleh Pang Dadan. Di
kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada
yang termasuk Orang Cina. Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil, wilayah
ini berhasil dikuasai. Namun demikian, pimpinan APMD kecewa karena pewaris
kekuasaan Kerajaan Sanggau, Gusti Ali Akbar
menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya,
kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi Jepang.
Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti
Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam
berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban. Meski Jepang menyerah
kepada Sekutu,
perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki Kota
Pontianak utnuk memerangi Belanda.
Pada Juni 1980, Laksus
Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama
gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti
YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu
Perang Dayak Desa dan sebilah samurai milik Takeo Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini
diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani
dan Yoshida dari Kedutaan
Besar Jepang di Indonesia di Jakarta
untuk dibawa pulang ke Tokyo, Jepang.
Perjalanan ke Meranggau |
Sumber :
1. Kelima panglima adat di bawah Pang Suma
adalah Libau, Jap, Tapang, Sulang, dan Burung (Usman & Din 2009, hal.
88).
2. Mereka itu adalah Temanggung Bagok, Pang
Perada, Mohammad Natsir, Naga, Tan Sin Anh, Pang Peah, Panglima Burung, Abang
Syahdansyah, Pang Suma, Pang Linggan, Agustinus Timbang, Gompang dan Pang
Lapeng (Usman & Din 2009, hal. 89).
3. Wikipedia
Artikel terkait : Sejarah Dayak Pompakng | Pengelompokan Suku Dayak Part 1 | Pengelompokan Suku Dayak Part 2 | Dayak Desa Kabupaten Sanggau | Sejarah awal kedatangan Cina di Kalimantan Barat |
Lihat juga : Tutorial | IT News | Tokoh Islam | Islami | Sejarah Indonesia | Sejarah Dunia | Aplikasi | Driver | Foto | Video | Mp3
No comments :
Post a Comment